Ngaji

Seperti yang pernah saya sebutkan bahwa pikiran saya di setiap saat dan di setiap tulisan pasti akan ditemukan perubahan dan perbedaan, namun dalam hal satu ini tidak ada perubahan. Dari awal hingga saat ini saya masih terus ngaji, dan memang saya niat dan cita-citakan terus ngaji sampai akhir hayat. Dan boleh saya informasikan di sini bahwa hampir sebagian besar atau bahkan mungkin seluruh yang hinggap di pikiran yang tertuang dalam tulisan saya adalah hasil dari saya ngaji.

Entah memang saya sengajakan tapi justru banyak mendapatkan hal-hal di luar kuasa saya sehingga sebagian besar hidup saya ini terbangun atas dasar ngaji. Maka dalam laman tulisan ini izinkan saya cerita tentang saya dan ngaji.

Saya lahir dalam topangan orang tua dan keluarga yang Alhamdulillah boleh disebut masih masuk dalam kata dekat dengan agama. Ibu saya dari SD (kalau tidak salah atau dari SMP) mengeyam pendidikan pesantren di bilangan Bogor. Ayah saya tidak ada latarbelakang pendidikan pesantren, setahu saya pendidikannya umum tapi memang diimbangi dengan ketertarikan dengan dunia pengajian dan keulamaan sehingga mendorongnya untuk keliling ikut pengajian ke sana-sini.

Bersambut dengan itu di lingkungan rumah saya ada musholla dan Ustadz Subandi Allahyarhamhu yang di dalamnya terbangun pengajian (Buku Iqro dan Alquran) yang terbilang cukup mapan dan sudah turun temurun. Ustadz Subandi lah guru pertama saya. Bahkan tidak berlebihan jika saya mendeskripsikan pengajian tersebut dengan gambaran setiap maghrib semua anak di daerah saya pasti ngaji di sana dan jika tidak ngaji pasti tidak akan mendapatkan teman. Walaupun di sisi lain saat itu lingkungan saya itu banyak diterpa pergaulan bebas yang menjamur. Maka saya sangat beruntung tetap merasakan peran pengajian kampung dan sangat perlu saya tulis dan riwayatkan hal tersebut. Soal pergaulan bebas di lingkungan saya dan peran pengajian kampung juga nampaknya saya tertarik untuk membahasnya, mungkin di lain kesempatan.

Tapi dari situ hingga beberapa lama saya mendefinisikan ngaji hanya sebatas ngaji baca Iqro dan Alquran, model ngaji kuping (hanya guru yang megang kitab sedangkan murid hanya mendengar penjelasan guru), model ngaji ceramah di acara tabligh akbar. Cukup lama tidak pernah terlintas di pikiran saya yang namanya ngaji itu ngaji kitab kuning seperti di pesantren, karena jujur memang tidak pernah saya lihat pengajian model seperti itu.

Barulah sekiranya di tahun 2017an saya ikut teman SD saya bernama Indika Akbar ngaji di masjid daerahnya. Masjid Al Hidayah namanya, di sanalah saya bertemu dengan Ustadz Rosyad Mustaqim, semoga Beliau meridhoi namanya saya riwayatkan di tulisan ini dan meridhoi saya sebagai murid yang menggali ilmu darinya. Beliau sedikit demi sedikit membangun pengajian dengan coba menerapkan apa yang ada di pesantren. Alhamdulillah hingga saat ini dan saya niatkan akan terus ngaji padanya. Dan dalam paragraf ini pula saya riwayatkan terima kasih saya pada Indika Akbar tersebut.

2018 saya kuliah dan kenal dengan Bilal Ramadhan yang di kemudian harinya (kalau tidak salah di 2020 atau 2021) mengajak kami ngaji alat (nahwu shorof, tapi lebih fokus nahwu) kitab Imrithi pada Kang Dawan di Tipar Cakung. Semoga Beliau juga meridhoi periwayatan namanya di tulisan ini. Kang Dawan ini alumni Pesantren Lirboyo yang entah bagaimana bisa bertemu dan kenal dengan si Bilal itu, ceritanya panjang. Ngaji di sana bisa dikatakan privat, yang setelah ngaji juga ngobrol banyak. Dari sanalah saya banyak menggali ilmu dan informasi hingga tertarik tentang dunia kepesantrenan nusantara ini. Dari Bilal juga saya ikut dia ke kobong Pesantren Salafiyah Al Abror di Rorotan dan kenal dengan Kyai Ahmad Mukhlis Fadhil, yang lagi-lagi semoga Beliau meridhoi namanya diriwayatkan di sini. Walaupun singkat, apa yang saya dapatkan di sana tidak bisa dikatakan biasa saja, yaitu tentang Tasawuf, yang saya dapati secara langsung ketika ngobrol ketika istirahat ngebon (kalau siang aktivitas kyai garap kebon di lingkungan rumahnya dibantu Bilal) atau ketika ngaji setiap malamnya, tak tanggung-tanggung kitab yang dibahas adalah Ihya Ulumiddin Imam Ghazali dan Hikam Ibnu Athoillah.

Selain itu, saya juga menyengajakan dawam ngaji kuping di beberapa tempat. Saya pernah dawam dalam waktu yang lumayan lama di pengajian rutin dan silaturahim FPI di Masjid Al Ishlah Petamburan juga di pengajian bulanan Markaz Syariah di rumah Habib Rizieq bin Husein Syihab, tapi sewaktu Habib Rizieq di Mekkah dan pengajian diisi oleh mantu-mantu Beliau, sekarang Habib Rizieq sudah di Jakarta pun sesekali hadir. Saya juga pernah dawam hadir mengambil faidah di Majelis Ta’lim Al Afaf Sayyidil Walid Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf Tebet selama beberapa tahun sebelum Beliau wafat hingga Beliau wafat. Saya juga dawam hadir pengajian rutinnya guru SD saya Habib Abdurrahman bin Muhsin Alatas yang mengajar di masjid di bilangan daerah Petojo, semoga Beliau meridhoi penyebutan namanya di sini.

Seperti yang tertuang di kalimat terdahulu bahwa ini semua entah memang saya sengajakan atau terjadi begitu saja, saya pun tak mengerti. Yang bisa saya pahami adalah dahulu saya tidak mau ketika disuruh mondok pesantren oleh orang tua saya, namun entah di waktu kapan saya tidak ingat, tak tahu dan terjadi begitu saja saya tertarik dengan ngaji dan mencoba menyengaja ngaji ke sana-sini sehingga yang terjadi adalah yang saya rekam di atas. Hal-hal di atas adalah hanya sebagian besar yang bisa saya rekam dan tuangkan, masih banyak lagi yang karena kekurangan saya dalam menuangkan sehingga tidak tertuang.

Saya tidak ingin menghinakan diri saya karena berniat sombong ketika menceritakan semua itu. Barangkali penuangan cerita ini menjadi sekecil-kecilnya bentuk syukur saya atas karunia Allah. Saya hanya ingin meriwayatkan sebagian hal-hal besar yang ada di pengalaman saya. Dan cerita di atas adalah periwayatan hal-hal yang mendasari bagaimana saya hidup. Salam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku Hidup?

Berbahagia dalam Ketidakbahagiaan

Ketika Kau Berjuang dan Merasa Lelah Sendiri..